Memotret Bali dari Sistem Subak
RK [infoklasika.print.kompas.com 16
Oktober 2014] Posisi Bali sebagai destinasi
favorit di Indonesia masih belum tergoyahkan. Keberagaman kenikmatan berlibur
yang ditawarkannya seolah tak pernah habis digali. Selalu ada destinasi baru
untuk dituju yang memuaskan kelima indera. Termasuk ketika subak ditetapkan
sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 6 Juli 2012.
Subak merupakan sistem irigasi
tradisional masyarakat Bali yang telah bertahan selama ratusan tahun. Namun,
sistem subak sendiri sesungguhnya lebih dari sekadar sistem pengairan yang
memberi nyawa pada tanaman padi. Sistem ini menerapkan pengelolaan sawah secara
berorganisasi dengan menekankan prinsip kekeluargaan dan gotong-royong. Sistem
tersebut menjadikan para petani tetap bersikap bijak dalam mengelola sawah,
tidak mementingkan keuntungan pribadi, serta terbukti memberi produktivitas
tinggi tanpa mengganggu ekosistem secara keseluruhan.
Penerapan sistem subak ini berakar
pada konsep kosmologi tradisional Bali, Tri Hita Karana, yang menjabarkan
hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Dengan kata lain, kegiatan
di dalam subak tak melulu soal pertanian. Di dalamnya menyiratkan interaksi
sosial antarwarga dan ritual keagamaan. Itu sebabnya di areal persawahan juga
dapat ditemui pura untuk bersembahyang.
Sejak subak ditetapkan oleh UNESCO
itu pulalah, nama Jatiluwih memancar. Desa di Kecamatan Penebel, Tabanan, yang
berjarak sekitar dua jam dari Denpasar itu, dicari mereka yang penasaran untuk
memahami lebih dalam tentang subak.
Jatiluwih
Areal sawah seluas lebih dari 300
hektare dan berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini menjadi
primadona baru dalam dunia pariwisata Pulau Dewata. Turis asing maupun lokal
berbondong-bondong menyambanginya demi menikmati hamparan karpet hijau yang
menyegarkan setiap mata. Berbagai kegiatan petani di sawah yang masih
menggunakan cara-cara tradisional bisa disimak di sini. Mulai dari menanam
padi, mengolah, hingga saat panen.
Hasil panen yang paling terkenal
adalah beras merah. Kendati identik dengan tanaman padi, Jatiluwih juga
menghasilkan sayuran, kelapa, kopi, pisang, dan lain-lain. Setiap pengunjung
bisa menjajal rasa beras merah organik dan hasil panen lainnya di berbagai
warung dan restoran yang banyak dijumpai di Jatiluwih. Tempat-tempat makan ini
pun tak hanya menjajakan kelezatan penganan, tetapi juga tetap memamerkan
kemolekan pemandangan khas pedesaan Bali dengan menghadap langsung ke areal
sawah.
Kesederhanaan wajah Jatiluwih yang
alami, tanpa banyak bangunan tinggi maupun komersial, dicari para pencinta
naturalis. Jajajaran rumah penduduk, pura, dan sungai menjadi atraksi
pemandangan yang membuai. Kecantikan sistem subak di Jatiluwih yang
berundak-undak ini juga tak pernah gagal menggoda setiap wisatawan untuk
menjenguknya lebih dalam. Beruntung, kawasan ini bisa dikatakan telah siap
menerima wisatawan. Tersedia jalur jogging yang nyaman maupun jalur trekking
memasuki areal persawahan yang telah dilengkapi arah jalan.
Walau harus mengatur langkah dengan
cermat karena licinnya jalan dan rela terkena tanah, tak mengapa. Demi mendapat
gambar-gambar terbaik mengabadikan tiap sudut areal persawahan di Jatiluwih
ini. [ADT]
Klasikamus:
Kosmologi: ilmu (cabang astronomi
yang menyelidiki asal-usul, struktur, dan hubungan ruang waktu dari alam
semesta; 2 ilmu tentang asal-usul kejadian bumi, hubungannya
dengan sistem matahari, serta hubungan sistem matahari dengan jagat raya; 3
ilmu (cabang dari metafisika) yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang
beraturan (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Related posts (Artikel Terkait ) atau Read also (baca juga) :
Keywords : .
Tags : .
Description:
Comments
Post a Comment