Jengkol Mengikis Stigma


Banyak orang malu mengaku menyukai jengkol karena baunya dan kerap digolongkan makanan kelas rendah. Padahal, jengkol dapat diolah menjadi bagian beragam variasi makanan berselera tinggi. Kini, saatnya jengkol mengikis stigma itu. Mari nikmati burger jengkol.
AROMA jengkol samar tercium di sentra makanan Bellanova Country Mall, Sentul, Bogo, Jawa Barat, Sabtu (18/11). Lokasi itu menjadi tempat Festival Jengkol 2017 pada 17-20 November. Dalam tiga hari itu, jengkol menjadi maknan primadona karena paling banyak dicari dan dipesan pengunjung.
Tak hanya dari Jabodetabek, pengunjung juga berasal dari Bandung, sumedang, Karawang, Pekanbaru, dan Pontianak. Sejak pagi, mereka berburu beragam makanan olahan jengkol, di antaranya burger, pasta, sate, steik, rendang, batagor, dan siomay. Harganya variatif, dari Rp 8.000-Rp 23.000.
Kebanyakan pengunjung membeli leibh dari satu jenis maknan. Mereka juga dapat melihat proses pembuatannya.
Sejumlah koki bahkan dibuat kerepotan karena diberondong pertanyaan pengunjung. Salah satunya adalah Anton (18) yang dicecar beragam pertanyaan, mulai dari daerah asala jengkol, bumbu-bumbu yang digunakan, dan proses  memasaknya.
“Saya senagn mendapat banyak pertanyaan. Itu artinya banyak juga yang suka jengkol. Mereka hanya perlu diberi tahu cara memasaknya dan variasi olahannya,” ujarnya.
Sebelum mendapatkan olahan jengkol yang diingkinkan, pengunjung terlebih dahulu meemsannya di Green S[pot Healty Food Café, sebagai pihak penyelenggara Festival Jengkol 2017. Bukti pembayaran pemesanan kemudian diserahkan ke koki di masing-masing stan sesuai jenis olahan jengkol.
Tak sedikit pengunjung harus mengantere. Sebab, lebih dari 300 pengunjung memadati lokasi itu setiap hari selama festival digelar.
Saking antusiasnya, pengunjung sudah mengantre walaupun beberapa stan belum dibuka. Mereka rela menunggu agar dapat merasakan makanna lebih awal.
Stan steik jengkol menjadi salah satu yagn paling banyak dikunjungi. Bahkan ,sebelum kokinya datang, sudah ada sepuluh pesanan pengunjung diatas meja stan tersebut.
Beberapa di antara mereka juga sibuk mencataat dan meotret bumbu-bumbunya. Tak sedikit yang memvideokan proses pembuatannya.
“Untuk dipraktikan di rumah. Ini jadi referensi bar uuntuk membuat makanan dair jengkol,” Ujar Yulianti (29), pengunjung asal Kota Bandung, sambil merekam proses pembuatan steik jengkol.
Menurut Yulianti, festival tersebut bukan sekadar ajang pameran masakan jengkol. Namun, yang lebih penting, pengunjung mendapat pengetahuan baru untuk membuat beragam kanan dari jengkol.
Apalagi, kokinya tidak pelit ilum. Pengunjung bebas bertanya, bahkan saat koki sedang memasak. Beberapa pengunjung pun meminta nomor telepon koki agar dapat berkonsultasi leibh lanjut mengenai masakan jengkol.
Menangkal bau
Hal paling  sering ditanyakan pengunjung adalah cara mengurangi bau jengkol. Sebab, hal itu dianggap paling mengganggu karena menyebabkan bau mulut beraroma jengkol.
“Makanya, makan jengkol enggak bisa sering-sering. Soalnya, baunay menyengat. Kan, malu kalau lagi ngobrol dengan teman napasnya bau jengkol,” ujar manajer personalia salah satu bank swasta di Kota Bandung.   
Selain steik jengkol, Yulianti juga mencoba burger jengkol dan sate jengkol. Menurut dia, tekstur jengkol di festival itu lebih lembut dibandingkan dengan di warung atau restoran pada umumnya.
“Sebenarnya jengkol banyak disukai. Terbukti ketika Lebaran, harga jengkol juga naik dan permintaannya meningkat. Namun, banyak yang jaga gengsi megnakuinya karena malu,” ujarnya.
Larasa (30), pengunjung asal Serang, Banten, mengaku baru pertama kali memakan jengkol. Dia mencobanya karena penasaran sekaligus tergoda selera meliaht beragam olahan jengkol.
“Pertama saya coba satenya. Penasaran karena selama ini belum pernah lihat sate jengkol,” ujarnya. Karena dirasa enak dan tidak terlalu berbau, dia ketagihan dan mencoba olahan lainnya, seperti steik dan pasta jengkol.
Inisator Festival Jengkol 2017, Dwi Kartika, mengatakan, olahan jengkol tidak kalah dibandingkan makanan lainnya. Dia mencontohkan, rendang jengkol tak kalah enak dengan rendang daging.
“Bumbunya sama. Hanya saja daging diganti jengkol begitu jgua maknana lainnya. Cuma bahan dasranya saja diganti jengkol,” ujarnnya.
Dwi tak menampik, banyak orang tidak menyukai jengkol karena baunya. Pemilik Green Spot Healty Food Café tersebut mengakui, bau jengkol sulit dihilangkan, tetapi dapat disamarkan. Caranya, dengna teknik merebus yang tepat.
Jengkol perlu direbus semalaman. Jika aromanya masih menyengat, dapat mencampur air rebusan dengan kopi, bawang putih, atau jahe. Untuk hasil maksimal, proses ini dapat diulang sekali lagi.
“Apinya kecil saja agar bahan campurannya meresap sempurna. Jika baunya tidak terlalu menyengat, cukkup direbus Selma empat jam.” Ujarnya.
Dwi mengatakan, acara tersebut bertujuan mengenalkan variasi masakan jengkol ke masayarakat. Selain itu, juga untuk mengikis kesan jengkol yang masih diidentikan sebagai makanan masyrakat kelas bawah.                                 
“Anggapan itu tidak selamanya benar. Buktinya banyak masyarakt menengah atas yagn rela antre untuk berburu jengkol di festival ini,” ujarnya.
Untuk mengikis stigma itu, Dwi bersama kalangan penyuka jengkol lainnya berencana menggelar festival jengkol di kota-kota lain. Mereka ingin jengkol diterima lebih luas di masayarakat, dari kelas bawah, menengah, hingga atas.
Keinginan itu mulai tercermin dari Festival Jengkol 2017 yang menggugah selera lebih dari 900 pengunjung dari berbagai kalangan. Tak sedikit pengunjung kecewa karena 150 kg jengkol yang disediakan setiap hari ludes dalam empat jam. Jadi, masih adakah yang menjengkali jengkol?

Comments

Popular Posts