Godaan Sop Buntut Legenda
Sop buntut ”lama” dan ”baru” sama-sama dicari karena rasanya. Di Bogor, sop buntut lawas tetap digemari, di Jakarta orang-orang terpikat pada sop resep baru.
Sebagian warga Bogor, Jawa Barat,
menganggap Warung Sop Buntut Ma’ Emun menjadi ikon ”Kota Hujan” itu. Sop buntut
di warung yang buka sejak tahun 1960-an ini dikenal kelezatannya. Tak jarang,
keluarga Istana Kepresidenan memesan hidangan dari warung ini.
Legenda sop buntut Ma’ Emun dapat
ditelurusi di Jalan Jenderal Sudirman di depan Asrama Pusdikzi, TNI AD, Bogor.
Warung tersebut kini dikelola Nunung, satu dari empat cucu Siti Naemunah alias
Ma’ Emun, yang meneruskan berjualan sop buntut.
”Awalnya, abah (suami Ma’ Emun)
coba-coba buat sop buntut. Ternyata banyak yang suka. Awalnya saya dagang di
bawah pohon depan pabrik Goodyear di Jalan Pemuda Nomor 27, Kebon Pedes, Tanah
Sereal,” kata Nuni Apriyanti (33), anak Nunung, cicit Ma’ Emun.
Tiga cucu Ma’ Emun lainnya yang jual
sop buntut adalah Pipit (di Jalan Salak), Imas (di Jalan Bangbarung), dan
Endang (di Simpang Airmancur). Meski punya banyak cucu, hanya empat cucu Ma’
Emun yang mewarisi resep sop buntut Sang Emak.
Di antara empat cucu itu, warung
Nunung merupakan yang tertua. Sejak Emun buka usaha, Nunung sudah membantu
emaknya sampai nenek itu meninggal tahun 2000.
Aroma pertama
Kenikmatan sop buntut di warung itu
sudah terasa di pintu masuk. Aroma menggoda itu berasal dari gerobak dan panci
berisi sop di atas kompor menyala di kiri pintu masuk bangunan sederhana.
Melalui jendela di depan kompor itu
aroma sop buntut menyeruak ke luar warung. Dari jendela itu pengunjung bisa
memilih daging buntut dan iga sapi yang diikat tali bambu. Seikat daging yang
sudah masak itu dihargai Rp 42.000.
Salah seorang pelanggan, Sella (47),
yang tinggal di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Rabu, memesan lima porsi sop
buntut. ”Dari dahulu kalau mau sop buntut saya ke sini. Ibu mertua saya yang
memberi tahu tempat ini. Sampai sekarang mertua saya masih makan sop buntut ini
meski usianya 80-an tahun. Sop buntut Ma’ Emun dari dahulu sampai sekarang
enak. Daging sopnya empuk dan merah, kuah sopnya wangi segar,” tutur Sella.
Setiap hari warung buka mulai pukul
10.00 hingga tutup saat sop buntut di panci habis. ”Dari dahulu daging sop
diikat dengan bambu, itu ciri khasnya. Mengapa daging tetap merah segar, tidak
hitam dan keras atau alot, itu resep rahasia keluarga. Yang jelas, potongan
buntut itu direbus dengan api kecil selama empat jam. Biasanya sebelum pukul
13.00, sop sudah habis,” kata Nuni.
Seberang Istana
Legenda sop buntut di Bogor juga
bisa ditemui di Kafe Kanari, Hotel Salak The Heritage. Di sana, masakan sop
buntut tersedia 24 jam. Sudrajad, Kepala Koki Hotel Salak, mengatakan, sop
buntut di kafe ini menjadi salah satu menu legendaris yang disajikan sejak
tahun 1968.
Kenikmatan sop buntut di sana dapat
dinikmati dari jendela kafe sambil memandang hamparan hijau halaman Istana
Bogor. ”Sop buntut kami menggunakan rempah-rempah, seperti pala, cengkeh, dan
bunga peka. Buntut sapi diolah dua kali setelah lemak-lemaknya disingkirkan.
Itu sebabnya kuah sop jernih dan harum,” katanya.
Pada olahan pertama, setelah dua
hingga tiga jam, dia memasukkan jahe dan angkak ke dalam air rebusan. Ini
sebabnya, dagingnya menjadi empuk, tetap berwarna merah segar, dan sehat.
”Salah satu khasiat angkak menambah darah,” kata Sudrajat.
Sop buntut Kafe Kanari disajikan
dalam tiga potong daging buntut, tanpa daging iga. Ada potongan wortel dan
kentang dengan irisan jeruk lemon dan emping garing di mangkok terpisah. Adapun
harga per porsinya berikut nasi putih Rp 105.000, belum termasuk pajak.
Pemikat di Jakarta
Di Jakarta Barat, sop buntut di
Warung Naraya dapat dijajal kenikmatannya. Warung ini berada di Jalan Tubagus
Angke, di sebelah Kantor Kecamatan Tambora, tidak jauh dari Ruang Publik
Terpadu Ramah
Anak (RPTRA) Kalijodo.
Sajian sop buntut di tempat ini
lebih kaya rempah, tetapi tanpa angkak dan kayu manis. Setelah menikmatinya,
aroma cengkeh terasa kuat, buntut sapi terasa empuk digigit. Daging juga mudah
lepas dari tulang tanpa banyak energi memisahkan dari tulang.
”Saya menggunakan bawang merah,
bawang putih, jahe, biji pala, cengkeh, lada hitam, dan lada putih. Sengaja
tidak saya sertakan kayu manis karena rasanya merusak adonan rempah resep
saya,” ucap si pemilik warung, Cuncun (41).
Cuncun mulai memasak sop buntut
tahun 2006-2008. ”Saat itu saya kerja di satu usaha rumahan sop buntut di Muara
Karang, Jakarta Utara. Tugas saya awalnya hanya berbelanja saja, tetapi
kemudian mencoba memasak dan membuat resep sop buntut sendiri. Eh, ternyata
banyak yang suka dengan resep saya,” ujar Cuncun.
Setelah tahun 2008, Cuncun tenggelam
dalam kesibukan lain, berdagang, sambil menjadi pembawa acara pada pesta-pesta
pernikahan. ”Saya baru mulai buka usaha sop buntut di sini awal tahun ini,”
ucap Cuncun.
Meski baru dalam hitungan bulan, sop
buntut Cuncun laris manis. ”Buat pengusaha pemula, lumayan ramai tamu yang ke
sini,” kata ayah empat anak ini.
Adonan rempah berupa jahe, lada
hitam, dan lada putih sop buntut resep Cuncun membuat hidangan ini menggigit
lidah dan hangat di perut. Daripada penasaran, Anda dapat mencoba sendiri
hidangan sop buntut resep khas Cuncun saat melintasi kawasan itu. Untuk seporsi
sop buntut, sepiring nasi, teh tawar, dan kerupuk, Anda cukup menyediakan Rp
39.000.
Di Jakarta Pusat, warga Jakarta juga
terpikat dengan sajian masakan itu di Sop Buntut Cut Meutia di Jalan Menteng
Kecil, dekat Masjid Cut Meutia, Gondangdia, Jakarta Pusat. Pemilik kedai ini
Ibu Nurjanah yang membuka warung ini sejak 1970. Selain sop buntut, warung ini
menyajikan sop buntut goreng dan sop buntut bakar.
Sop buntut di sini ramainya di siang
hari saat makan siang. Jika ingin menikmatinya, Anda mesti siap dengan antrean
kecil pengunjung. Namun, jika ingin menikmati sop buntut dalam suasana hotel,
penikmat sop buntut suka menyantap di Bogor Café, Hotel Borobudur, Jalan
Lapangan Banteng Selatan.
Di Jakarta Utara, penggemar olahan
daging itu dapat mencoba Sop Buntut Haji Sodik di Ruko Metro, Jalan Danau
Sunter Utara, RT 009 RW 004, Papanggo, Tanjung Priok. Yuuk.[Sumber: Kompas,
Sabtu, 21 July 2018|Oleh: RATIH P SUDARSONO/ WINDORO ADI/HERU SRI KUMORO ]
Comments
Post a Comment