Menikmati Santapan Lokal, Hasil Negeri Sendiri
RK [infoklasika.print.kompas.com 22
Oktober 2014] Terkait dengan kebutuhan dan
barangkali kegandrungan kita akan pangan, ada gaya hidup baru yang dianut
sebagian orang. Mengonsumsi makanan hanya yang lokal, bukan hasil impor. Mereka
menyebut diri locavore.
Kata locavore dipopulerkan
koki dan penulis AS, Jessica Prentine. Kata yang masuk ke dalam Oxford American
Dictionary pada 2007 ini artinya orang mengonsumsi makanan hanya yang
diproduksi secara lokal. Gerakan locavore sendiri diinisiasi di San
Fransisco pada Agustus 2005.
Gerakan ini dilandasi kesadaran
tentang sistem distribusi pangan yang tidak efektif. Bahan dan produk makanan
olahan diterbangkan beribu kilometer jauhnya. Padahal, di wilayah tujuan,
orang-orang punya makanannya sendiri yang sebenarnya cukup untuk memenuhi
nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Saat jarak dipangkas, muncul keuntungan bagi
kesehatan, lingkungan, dan para penghasil pangan skala kecil. Memilih untuk
mengonsumsi pangan lokal lantas dianggap sebagai sikap bijak.
Pertanyaan berikutnya, apa yang
dimaksud pangan lokal? Awalnya, definisi yang banyak digunakan adalah ukuran
jarak, ada yang berpendapat 100 mil (sekitar 160 kilometer), ada pula yang
menyatakan 400 mil (sekitar 640 kilometer). Namun, definisi ini lantas
dikembalikan pada semangatnya, memperpendek jarak antara lokasi penanaman,
penangkapan, atau pemanenan dengan meja makan. Definisi pun melonggar. Kini,
yang dianggap makanan lokal adalah makanan yang dihasilkan di dalam negeri.
Meski gaungnya mungkin tak besar,
gerakan locavore terus bertambah pendukungnya. Seorang koki di
Perancis, Armand Arnal, bahkan sudah menerapkan gaya hidup mengonsumsi makanan
lokal di restorannya, La Chassagnette. Baginya, kemewahan bukanlah kaviar atau
daging sapi supermahal yang diberi asupan bir. Kemewahan dalam makanan adalah
kesegaran. Prinsip inilah yang dipegangnya dalam mengelola restorannya.
Armand hanya meracik makanan dari
bahan-bahan lokal. Bahan impor yang sampai di daerahnya lewat proses yang boros
bahan bakar dihindarinya. Sebisa mungkin, ia hanya meracik makanan yang asalnya
dari wilayah sekitarnya atau dari dalam negeri. Kebun di sebelah restorannya
menjadi pemasok bagus untuk menu-menu yang disajikannya. Mereka hanya mengambil
bahan yang diperlukan sehingga tidak ada bahan yang tersisa.
Uniknya, menu pun kadang
menyesuaikan dengan ketersediaan bahan atau musim. Saat musim terung, misalnya,
ia menciptakan beragam bahan makanan dari terung. Kreativitasnya untuk
mereka-reka menu justru mendapat tantangan yang mengasyikkan dari sini. Lebih
dari itu, menurutnya beginilah cara makan yang bertanggung jawab. [*/NOV]
Comments
Post a Comment