Sepotong Kisah Cinta di Riuh Jakarta

RK [infoklasika.print.kompas.com 15 May 2015] Ruang kecil itu menampung jauh lebih banyak kisah dibandingkan yang barangkali kita duga. Alska, toko mungil di tengah Jakarta, mengumpulkan cerita dari pelosok dunia. Cerita itu berwujud barang-barang yang mudah membuat hati terpikat—seperti makna kata alska dalam bahasa Swedia, mencintai.
Di sudut-sudut Alska, kita akan menemukan wajah Jepang, Tiongkok, Vietnam, Thailand, Nepal, India, Tibet, Afrika Selatan, Kenya, Swiss, atau Jerman. Ada sendok yang terbuat dari Dalbergia melanoxylon atau kayu hitam asal Kenya. Cangkir dengan relief kepala binatang yang menonjol dari Thailand. Cawan porselin dari Tiongkok. Beragam rupa keramik gaya Ottoman dengan motif timbul dan warna yang kaya.

Perjalanan menjadi napas Alska yang digagas oleh fotografer Nicoline Patricia Malina (33) ini. Ia menggambarkan toko yang terletak di Jalan Cipete Raya, Jakarta, tersebut dengan kata well-traveled. Setiap bepergian, Nicoline selalu menyempatkan diri mengunjungi komunitas lokal dan melihat karya yang mereka hasilkan.
Klasikamus “Bay Window”
Bay window atau jendela bersudut adalah jendela yang menjorok ke luar bangunan dan membentuk ceruk di dalam ruangan.
“Setiap barang yang ada di sini punya story, hand-made buatan komunitas lokal. Seperti tujuan Alska, mengenalkan barang-barang yang dibuat dengan tangan, dengan cinta,” tutur Nicoline. Ia begitu menikmati perjumpaannya dengan setiap komunitas baru. Mereka menginspirasi karena dengan tekun masih mengerjakan tradisi lokal secara turun-temurun.

Nicoline mengajak koran ini mengitari tokonya. Setiap langkah menjadi perhentian yang menarik. Benda-benda yang terpajang di rak atau di atas meja begitu memikat sekaligus menerbitkan rasa ingin tahu. Barang-barang yang dipilah dan diseleksi dengan hati-hati itu seolah menuturkan kisahnya.
“Ini kain ikat celup atau tie dye dari suku Bai di Desa Zhuocheng, Yunnan,” Nicoline bercerita sambil menunjukkan selembar kain dengan nuansa biru-ungu yang terpajang di Alska. Ia melanjutkan, “Tradisi membuat kain ini bertahan di sana selama lebih dari seribu tahun. Uniknya, setiap keluarga punya motif yang berbeda-beda. Untuk menyelesaikan selembar kain, mereka membutuhkan waktu lama karena prosesnya yang cukup rumit.”
Pewarnaan kain ikat celup tersebut menggunakan pewarna alami dari tanaman woad (Isatis tinctoria). Untuk mengeluarkan warna indigo, tanaman ini difermentasikan di dalam sebuah cekungan. Semakin lama proses fermentasi, semakin tua warna yang dihasilkan.
Di dekat kain dari Yunnan itu, ada pula kantha kain perca (patchwork) yang dibuat di India. Kantha kain perca ini biasanya dibuat dari sari yang sudah tak lagi terpakai karena sudah lawas. Sari-sari itu akan dipotong-potong, digabungkan dengan sari bermotif lain, dan dijahit kembali. Para perempuan di India biasanya menurunkan seni ini kepada anak-anaknya. Hasilnya, karya baru yang unik. Hampir tak ada kantha kain perca yang benar-benar sama karena proses pembuatannya selalu personal.
“Memento”
Kecintaan Nicoline pada memento hasil perjalanan terbentuk sejak ia masih kecil. “Kebetulan orangtuaku juga suka traveling. Mereka selalu bawa sesuatu dan memajangnya di rumah. Rumah kami cukup penuh. Kami memang tidak terlalu minimalis,” ia bercerita sambil tertawa.
Di apartemennya yang terletak di bilangan Fatmawati, Jakarta, Nicoline juga memberi karakter pada setiap ruangan dengan benda-benda yang ia kumpulkan dalam perjalanan. Huniannya ini diulas dalam buku Happy Vintage (2015) yang ditulis Luthfi Hasan. Dalam buku itu, Nicoline mengatakan, “All the walls, cabinets and even flooring are filled with mementos I got from my travels. Looking at every item brings back lovely memories.”

            Alska juga merupakan perwujudan keinginan Nicoline untuk berbagi dengan orang lain. Ide mendirikan toko ini bermula dari rumahnya sendiri. Kerap terjadi, tamu-tamu yang mampir di apartemennya menyukai koleksi Nicoline dari berbagai tempat dan minta Nicoline membawakannya sebagai oleh-oleh jika suatu saat kembali mengunjungi tempat tersebut.
Ia lantas berpikir, betapa menyenangkan jika semua orang bisa punya kesempatan untuk mendapatkan memento semacam ini. Jadilah Alska. Nicoline membawa pulang suvenir yang didapatnya dalam jumlah terbatas, lalu menaruhnya di toko kecilnya. Benda itu dan calon pemiliknya akan saling bertemu.
Nicoline ingin setiap orang bisa memberi roh pada rumahnya dengan barang-barang yang disukainya dan dibuat dengan cinta. Kelak, ruang-ruang yang diberi sentuhan personal akan menjadi tempat yang hangat. Seperti definisinya tentang tempat yang menyenangkan, “A happy place is where you love and are loved.” [NOV]

Related posts :




Comments

Popular Posts